Akmal Akhsan Tahir
(Ketua Bidang RPK PC IMM AR
Fakhruddin 2018-2019)
Semua kegiatan manusia pada dasarnya adalah upaya untuk
menuju satu titik paling akhir dalam diri manusia, yaitu Tauhid. Dengan demikian, tauhid tak dapat diartikan secara sempit seperti
di masjid atau tempat-tempat ibadah saja, dan tauhid bukanlah seremonial ibadah.
Akan tetapi juga semangat berbuat selama manusia masih berada di muka bumi.
Nilai inilah yang menjadi fundamen yakni semangat berbuat manusia baik secara
individu maupun secara sosial.
Bilamana
kita menoleh ke sejarah kenabian, kita bisa mengamati bahwa misi utama
kependidikan Nabi adalah pembentukan karakter yang bermula dari penanaman
tauhid kepada Allah Yang Maha Esa. (Zainuddin, 2014: 3) . Dari semangat inilah,
maka manusia (peserta didik) diarahkan untuk mampu mengenali Tuhannya secara
sempurna, memahami keesaan Tuhan. Formulasi yang paling tepat dan tegas dalam
memahami tauhid adalah kalimat thoyyibah
“la ilaha illallah” yang mengandung
makna “tidak ada Tuhan selain Allah”, yang dalam pengertian umumnya bahwa tidak
ada yang berhak disembah (diTuhankan) selain Allah Yang Maha Esa. Prinsip
kalimat thoyyibah ini adalah prinsip
persamaan dan kebebasan manusia. Nilai bahwa Tuhan itu Esa. Oleh karena itu, setiap
individu, bahkan semua makhluk adalah dari pencipta yang sama. (Ismail, 2015
:66)
Tauhid
pendidikan sebagaimana yang ditulisakan diatas adalah sebuah konsep tauhid yang
mengejawantah dalam dunia pendidikan. Keluasan makna tauhid ini pernah
diejawantahkan dalam tauhid sosial. Di dalam konsep ini, mengutip kata Moeslim
Abdurrahman sebagaimana dituliskan dalam tesis Yesi Desiana menyatakan bahwa, “
agama harus berani lebur memihak kepada ajaran tauhid sosial dengan misinya
yang paling esensial adalah sebagai kekuatan emansipatoris yang selalu peka
terhadap penderitaan kaum tertindas. (Desiana, 2017: 19). Bilamana dihubungkan
dengan dunia pendidikan, esensi tauhid dalam lembaga pendidikan yakni membawa
manusia untuk menjadi kekuatan emansipatoris dalam lingkungannya. Artinya,
penanaman nilai tauhid ini diejawantahkan kepada peserta didik dengan
menjadikannya manusia yang bebas dan membebaskan, tidak bersikap individualistik
dan pragmatik.
Nilai
tauhid ini tidak boleh ditanamkan secara parsial, namun diterapkan dalam
keseluruhan sistem pendidikan dalam lembaga pendidikan (khususnya lembaga
pendidikan Islam). Prinsip yang dikembangkan dalam tauhid adalah prindip
persamaan dan kebebasan, prinsip bahwa Tuhan adalah Esa, oleh karenanya setiap
individu bahkan semua makhluk adalah dari pencipta yang sama (Ismail, 2015 :
66). Maka dalam implementasinya, seorang guru tiada boleh membeda-bedakan
siswanya berdasarkan golongan suku, ras, warna kulit maupun keturunan. Prinspi
tauhid inilah yang menjadi pegangan bagi para pendidik untuk bersikap adil,
tidak bersikap feodalistik dan juga tak membeda-bedakan peserta didiknya.
Implementasi
nilai tauhid ini adalah buah dari pendidikan profetik (pendidikan kenabian).
Penulis meyakini bahwa nilai tauhid ini adalah nilai paling ideal yang menjadi
cita-cita teori dan praksis pendidikan.
