Oleh : IMMawan Syamsul Arifin
(Ketua Bidang Hikmah PC IMM Jakarta Selatan 2019-2020)
Islam
Indonesia kerap dilukiskan dalam relasi Islam tradisionalis dan Islam modernis.
Setelah runtuhnya Orde Baru di tahun 1998, struktur peluang politik baru
terbuka dan memberi panggung bagi umat Islam untuk memainkan peran sosial
politik yang makin besar di ruang publik Indonesia. Karena memang Indonesia sebagai Negara yang tak dapat
dipisahkan dari apa itu Islam. Lebih dari 90% penduduknya beragama Islam, dan
tak lepas dari perjuangan Nahdlatu Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadikan
Islam Indonesia saat ini benar-benar relevan dan kompatibel untuk Indonesia
dari segidemokrasi, nasionalisme, dan kemajuan.
Pada
abad ke 20 Muhammadiyah dan NU menggelar agenda akbarnya, yakni Muktamar.
Agenda tersebut menghasilkan dua bentuk konsep besar untuk Islam Indonesia
yakni Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara. Bentuk konsep dari dua organisasi
Islam terbesar di Indonesia ini adalah respons yang berbeda dari fenomena yang
sama, yaitu globalisasi, terutama globalisasi kebudayaan baik dalam bentuk
arabisasi ataupun westernisasi.
Filosofi
yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang
kuat akan mendominasi yang lemah. Maka dari itu, dalam globalisasi budaya,
salah satu dampaknya adalah homogenitas, seperti misalmemandang Islam homogeny
dengan mengidentikkannya dengan Arab atau Arabisasi.
Homogenisasi
ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respons balik atau
resistensi terhadap homogenisasi ini diantaranya dalam bentuk indigenization.
Islam Nusantara yang dipopulerkan anak-anak NU dan menjadi salah satu respons
terhadap globalisasi dengan melakukan indigenisasi. Islam nusantara merupakan
istilah yang sering dipakai untuk mengacu pada Islam ala Indonesia yang
autentik; langgamnya Nusantara tapi badannya Islam. Ide Islam nusantara ini
berkaitan dengan gagasan “pribumi Islam” yang pernah dipopulerkan oleh K.H.
Abdurrahman Wahid. Banyak yang menduga bahwa semakin kita mengenal dunia luar
dan kelompok yang berbeda; kita menjadi semakin terbuka, namun, sering kali
yang terjadi tidak sejalan dengan logika itu.
Di
tengah globalisasi, terutama yang datang dari barat atau timur tengah, banyak
orang yang semakin fanatic atau tidak mau menerima perbedaan serta pluralitas.
Beberapa kelompok agama justru mencari perlindungan dalam homogenitasdan
eksklusivitas kelompoknya. Sepertinya kedamaian itu bias terjadi dengan menolak
keragaman atau sesuatu yang asing. Islam nusantara bias menjadi respons yang
sangat baik terhadap globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokialisme dan
sekterianisme. Bahkan respons terhadap globalisasi tak berhenti disitu saja,
yakni ketika sudah memicu adanya radikalisme dan terorisme.
Respons
lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan “Islam
Berkemajuan”, istilah ini lantas dipopulerkan lagi pada 2010 lalu saat
Mukatamar Muhammadiyah, sebelumnya slogan ini sudah diperkenalkan oleh Kyai
Syuja (murid K.H. Ahmad Dahlan), tapi memang agak meredup sebelum tahun 2009,
baru kemudian digaungkan lagi oleh Din Syamsudin. Dalam kaitannya dengan
globalisasi, Islam berkemajuan itu sering dimaknai sebagai “Kosmopolitan” yakni
kesadaran bahwa Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki rasa
solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab kepada sesama manusia
tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarah yang bersifat primordial dan
Konvensional.
Muhammadiyah
tegas pada langkah kosmopolitannya, karena menyadari bahwa kelahirannya
merupakan produk dari interaksi timur tengah dan barat yang dikemas menjadi
sesuatu yang autentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh,
sistem pemikiran yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu
karakter kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi
wahana untuk dialog antar peradaban.
Alhasil
kita dapat dengan mudah menemukan gagasan Muhammadiyah, dalam berdakwah.
Muhammadiyah memiliki wacana besar untuk peradaban Islam di Indonesia
khususnya, dan dunia pada umumnya. Maka tercetuslah Islam transformatif yang
digagas oleh Muslim Abdurrahman sebagai bentuk pemikiran tentang bagaimana
peran Islam dalam kehidupan manusia, selain itu juga untuk melengkapi pemikiran
Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo yang mengenalkan Visi-Misi kenabian dalam
dakwah sosial. Kaitannya dengan Muhammadiyah, yakni jika ditelusuri lebih
lanjut, kedua pemikir besar peradaban Islam di Indonesia tersebut lahir dari
rahim Muhammadiyah.
Misi
utama yang dibawa Muhammadiyah sendiri yakni pembaharuan (tajdid) terhadap
pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan pembaharuan oleh ialah seperti yang
dikemukakan oleh M. Djindar Tamimy: maksud dari kata tajdid (pembaharuan) jika
dipandang menurut sasarannya, ada dua segi. Yakni; Pertama, berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada
keasliannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip
perjuangan yang sifatnya tetap. Kedua, berarti
pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai
masalah seperti; metode, system, teknik, strategi , taktik perjuangan, dan
lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan
situasi dan kondisi ruang dan waktu.
Dari
kesimpulan ahli di atas, dapat diartikan bahwa moderniasi dakwah yang dilakukan
Muhammadiyah tidaklah hanya semata-mata membuat dakwah itu lebih relevan dan
lebih diterima dengan metode semenggembirakan mungkin. Tapi juga dakwah ini
mencoba membentengi ajaran islam yang murni, sehingga dapat mengembalikan warna
Islam yang sesungguhnya, tanpa dicampuri kepentingan duniawi dari elit-elit
agama. Contoh: budaya Tahlilan untuk mendoakan orang yang meninggal itu
hendaknya tidak menambah beban bagi keluarga yang ditinggalkan. Seperti
tuntuatan untuk membiayai ustadz atau menyediakan konsumsi jama’ah yang diluar
kemampuan. Maka harus ada cara yang lebih baik.
Akan
tetapi contoh di atas bukanlah penonjolan suatu sikap Takabbur, yang dikemukakan penulis. Sikap yang dilarang oleh
Muhyiddin Ibnu ‘Arabi yang artinya merasa benar sendiri. Memang Muhammadiyah
mencoba memurnikan kembali ajaran Islam, tapi bukan berarti Muhammadiyah tidak
membuka jalur ijtihad, itulah mengapa dalam konteks keumatan, kader
Muhammadiyah jangan pulamenghabiskan polemic-polemik sectarian warisan lama
seperti ajaran-ajaran sejarah islam yang sifatnya primordial.
Kader
Muhammadiyah harus tampil ke depan sebagai perekat persaudaraan umat Islam yang
menjauhi konflik-konflik primordial dan sectarian. Seperti yang disinyalir oleh
Sndhu, Direktur Institute of Soutest Asian Studies (ISEAS), Singapura, bahwa
dalam beberapa dasawarsa terakhir ini faktor-faktor etnis dan agama telah
membingungkan banyak analisis sosial karena perannya yang yang tetap ada.
Harapan liberal bahwa modernisasi akan mengaburkan perbedaan etnis, serta
meluasnya komunkasi dan pendidikan akan membuat masyarakat semakin homogeny,
ternyata tidak menjadi kenyataan.
Demikian
juga harapan radikal bahwa perbedaan agama, bahasa dan budaya akan lenyap
seiring dengan munculnya kesadaran kelas ternyata juga cuma tinggal harapan.
Bahkan tampaknya perbedaan-perbedaan yang berdasarkan faktor-faktor tersebut di
banyak masyarakat telah menjadi semakin tajam. Kelompok-kelompok kepentingan
etnis dan agama lebih vocal menuntut. Dalam kondisi seperti inilah kompleksitas
etnis-etnis, agama, dan bahasa tampaknya semakin menantang disbanding
sebelumnya.
Maka pemahaman kita bahwa Indonesia ini majemuk
atau plural lebih diluaskan lagi. Walhasil sebagaimana dalam kedudukan mulia
ada tanggung jawab, dan kita adalah sebaik-baiknya manusia yang menyerukan
kebenaran. Demikian kader-kader Muhammadiyah tidak boleh lari dari tanggung
jawab untuk terlibat aktif dan total dalam proyek panjang dan melelahkan
mewujudkan kemajuan dan kejayaan Indonesia. IMM Jaya!

