Sabtu, 28 Desember 2019

Menggedor Wacana Transformasi Dakwah Islam dari Muhammadiyah untuk Indonesia





Oleh : IMMawan Syamsul Arifin 
(Ketua Bidang Hikmah PC IMM Jakarta Selatan 2019-2020)

Islam Indonesia kerap dilukiskan dalam relasi Islam tradisionalis dan Islam modernis. Setelah runtuhnya Orde Baru di tahun 1998, struktur peluang politik baru terbuka dan memberi panggung bagi umat Islam untuk memainkan peran sosial politik yang makin besar di ruang publik Indonesia. Karena memang  Indonesia sebagai Negara yang tak dapat dipisahkan dari apa itu Islam. Lebih dari 90% penduduknya beragama Islam, dan tak lepas dari perjuangan Nahdlatu Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang menjadikan Islam Indonesia saat ini benar-benar relevan dan kompatibel untuk Indonesia dari segidemokrasi, nasionalisme, dan kemajuan.
Pada abad ke 20 Muhammadiyah dan NU menggelar agenda akbarnya, yakni Muktamar. Agenda tersebut menghasilkan dua bentuk konsep besar untuk Islam Indonesia yakni Islam Berkemajuan dan Islam Nusantara. Bentuk konsep dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini adalah respons yang berbeda dari fenomena yang sama, yaitu globalisasi, terutama globalisasi kebudayaan baik dalam bentuk arabisasi ataupun westernisasi.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang kuat akan mendominasi yang lemah. Maka dari itu, dalam globalisasi budaya, salah satu dampaknya adalah homogenitas, seperti misalmemandang Islam homogeny dengan mengidentikkannya dengan Arab atau Arabisasi.
Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respons balik atau resistensi terhadap homogenisasi ini diantaranya dalam bentuk indigenization. Islam Nusantara yang dipopulerkan anak-anak NU dan menjadi salah satu respons terhadap globalisasi dengan melakukan indigenisasi. Islam nusantara merupakan istilah yang sering dipakai untuk mengacu pada Islam ala Indonesia yang autentik; langgamnya Nusantara tapi badannya Islam. Ide Islam nusantara ini berkaitan dengan gagasan “pribumi Islam” yang pernah dipopulerkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid. Banyak yang menduga bahwa semakin kita mengenal dunia luar dan kelompok yang berbeda; kita menjadi semakin terbuka, namun, sering kali yang terjadi tidak sejalan dengan logika itu.
Di tengah globalisasi, terutama yang datang dari barat atau timur tengah, banyak orang yang semakin fanatic atau tidak mau menerima perbedaan serta pluralitas. Beberapa kelompok agama justru mencari perlindungan dalam homogenitasdan eksklusivitas kelompoknya. Sepertinya kedamaian itu bias terjadi dengan menolak keragaman atau sesuatu yang asing. Islam nusantara bias menjadi respons yang sangat baik terhadap globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokialisme dan sekterianisme. Bahkan respons terhadap globalisasi tak berhenti disitu saja, yakni ketika sudah memicu adanya radikalisme dan terorisme.
Respons lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan “Islam Berkemajuan”, istilah ini lantas dipopulerkan lagi pada 2010 lalu saat Mukatamar Muhammadiyah, sebelumnya slogan ini sudah diperkenalkan oleh Kyai Syuja (murid K.H. Ahmad Dahlan), tapi memang agak meredup sebelum tahun 2009, baru kemudian digaungkan lagi oleh Din Syamsudin. Dalam kaitannya dengan globalisasi, Islam berkemajuan itu sering dimaknai sebagai “Kosmopolitan” yakni kesadaran bahwa Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarah yang bersifat primordial dan Konvensional.
Muhammadiyah tegas pada langkah kosmopolitannya, karena menyadari bahwa kelahirannya merupakan produk dari interaksi timur tengah dan barat yang dikemas menjadi sesuatu yang autentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem pemikiran yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu karakter kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana  untuk dialog antar peradaban.
Alhasil kita dapat dengan mudah menemukan gagasan Muhammadiyah, dalam berdakwah. Muhammadiyah memiliki wacana besar untuk peradaban Islam di Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya. Maka tercetuslah Islam transformatif yang digagas oleh Muslim Abdurrahman sebagai bentuk pemikiran tentang bagaimana peran Islam dalam kehidupan manusia, selain itu juga untuk melengkapi pemikiran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo yang mengenalkan Visi-Misi kenabian dalam dakwah sosial. Kaitannya dengan Muhammadiyah, yakni jika ditelusuri lebih lanjut, kedua pemikir besar peradaban Islam di Indonesia tersebut lahir dari rahim Muhammadiyah.
Misi utama yang dibawa Muhammadiyah sendiri yakni pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan pembaharuan oleh ialah seperti yang dikemukakan oleh M. Djindar Tamimy: maksud dari kata tajdid (pembaharuan) jika dipandang menurut sasarannya, ada dua segi. Yakni; Pertama, berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap. Kedua, berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai masalah seperti; metode, system, teknik, strategi , taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.
Dari kesimpulan ahli di atas, dapat diartikan bahwa moderniasi dakwah yang dilakukan Muhammadiyah tidaklah hanya semata-mata membuat dakwah itu lebih relevan dan lebih diterima dengan metode semenggembirakan mungkin. Tapi juga dakwah ini mencoba membentengi ajaran islam yang murni, sehingga dapat mengembalikan warna Islam yang sesungguhnya, tanpa dicampuri kepentingan duniawi dari elit-elit agama. Contoh: budaya Tahlilan untuk mendoakan orang yang meninggal itu hendaknya tidak menambah beban bagi keluarga yang ditinggalkan. Seperti tuntuatan untuk membiayai ustadz atau menyediakan konsumsi jama’ah yang diluar kemampuan. Maka harus ada cara yang lebih baik.
Akan tetapi contoh di atas bukanlah penonjolan suatu sikap Takabbur, yang dikemukakan penulis. Sikap yang dilarang oleh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi yang artinya merasa benar sendiri. Memang Muhammadiyah mencoba memurnikan kembali ajaran Islam, tapi bukan berarti Muhammadiyah tidak membuka jalur ijtihad, itulah mengapa dalam konteks keumatan, kader Muhammadiyah jangan pulamenghabiskan polemic-polemik sectarian warisan lama seperti ajaran-ajaran sejarah islam yang sifatnya primordial.
Kader Muhammadiyah harus tampil ke depan sebagai perekat persaudaraan umat Islam yang menjauhi konflik-konflik primordial dan sectarian. Seperti yang disinyalir oleh Sndhu, Direktur Institute of Soutest Asian Studies (ISEAS), Singapura, bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir ini faktor-faktor etnis dan agama telah membingungkan banyak analisis sosial karena perannya yang yang tetap ada. Harapan liberal bahwa modernisasi akan mengaburkan perbedaan etnis, serta meluasnya komunkasi dan pendidikan akan membuat masyarakat semakin homogeny, ternyata tidak menjadi kenyataan.
Demikian juga harapan radikal bahwa perbedaan agama, bahasa dan budaya akan lenyap seiring dengan munculnya kesadaran kelas ternyata juga cuma tinggal harapan. Bahkan tampaknya perbedaan-perbedaan yang berdasarkan faktor-faktor tersebut di banyak masyarakat telah menjadi semakin tajam. Kelompok-kelompok kepentingan etnis dan agama lebih vocal menuntut. Dalam kondisi seperti inilah kompleksitas etnis-etnis, agama, dan bahasa tampaknya semakin menantang disbanding sebelumnya.
Maka pemahaman kita bahwa Indonesia ini majemuk atau plural lebih diluaskan lagi. Walhasil sebagaimana dalam kedudukan mulia ada tanggung jawab, dan kita adalah sebaik-baiknya manusia yang menyerukan kebenaran. Demikian kader-kader Muhammadiyah tidak boleh lari dari tanggung jawab untuk terlibat aktif dan total dalam proyek panjang dan melelahkan mewujudkan kemajuan dan kejayaan Indonesia. IMM Jaya!